Ketertelusuran
Tracebility

Ketertelusuran, atau Sistem traceability adalah totalitas data dan operasi yang mampu memelihara informasi yang diinginkan mengenai produk dan komponennya melalui semua atau bagian dari rantai produksi dan pemanfaatannya (ISO 2007). Sistem traceability merekam dan mengikuti proses produksi sebuah produk dan asal material yang didapatkan dari pemasok yang diproses dan didistribusikan sebagai produk akhir (ISO 2005).

Karakter dasar dari sistem traceability adalah sebagai berikut :
+ Identifikasi unit/batch semua bahan dan produk.
+ Pendaftaran informasi kapan dan dimana unit/batch dipindahkan atau bertransformasi.
+ Sistem yang menghubungkan data dan mentransfer semua informasi penelusuran yang relevan dengan produk ke tahap berikutnya atau langkah pemrosesan.

Pada praktiknya, sistem traceability adalah sistem pencatatan yang menunjukkan jalur produk tertentu dari pemasok dengan melalui langkah lanjutan menuju konsumen. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas traceability adalah sebgai berikut :
+ Struktur dan organisasi rantai pasok; Tingkat kolaborasi dalam rantai pasokan; Jumlah pelaku/aktor dalam rantai pasok; Kemampuan pelaku rantai pasok untuk mengidentifikasi asal produk; Kemampuan pelaku rantai pasok mengelola sistem ketelusuran; Kompatibilitas antar pelaku rantai pasok.
+ Tujuan suatu produk.
+ Identifikasi unit lot yang dapat dilacak.
+ Waktu yang dibutuhkan untuk melacak suatu produk.
+ Kredibilitas metode penelusuran Metode identifikasi dan standardisasi data.
+ Seberapa jauhnya suatu sistem keterlacakan tergabung dalam suatu yang sudah ada dan sistem manajemen informasi fungsional dan/atau jaminan kualitas/ keamanan sistem.
+ Peraturan tentang traceability/ketelusuran.


References :
1. International Trade Center. 2015. Traceability in Food and Agricultural Products. ITC. Switzerland.
2. World Trade Organization. 2012. World Trade Report 2012, Trade and Public Policies: A Closer Look at Non-Tariff Measures in the 21st Century.

Blockchain dan Pertanian

Blockchain diibaratkan sebagai sebuah buku besar yang memuat data dalam bentuk block yang saling terkait satu sama lain. Setiap kali terdapat tambahan data baru (misal produk baru, pengiriman produk dan lain-lain), block baru akan terbentuk dan akan meningkatkan atau mempertebal buku besar tersebut.

Buku besar tersebut tidak tersentralisasi atau disimpan di suatu tempat, tetapi tersebar di berbagai jaringan komputer atau node. Salinan buku besar tersebut akan digunakan ketika melakukan transaksi atau pertukaran data. Melalui sistem tersebut maka transaksi yang berbasiskan teknologi blockchain akan terdesentralisasi, anonim, persisten, dan mudah untuk di audit.

Pada awalnya penerapan teknologi blockchain dilakukan pada sektor cryptocurrency seperti bitcoin (Zheng, et al. 2018). Cryptocurrency memanfaatkan semua keunggulan blockhain untuk melakukan transaksi secara anonim dan tanpa terlacak. Pada tahap selanjutnya, penerapan teknologi blockchain tidak hanya terbatas pada metode pembayaran anonim saja, tetapi berkembang ke sektor-sektor lainnya.

Secara teori, apapun yang membutuhkan sesuatu yang harus memiliki traceability dan privasi yang kuat dapat memanfaatkan teknologi blockchain termasuk di sektor pertanian, otomotif, kesenian, pertambangan, sektor publik, dan lain-lain (Carson, et al. 2018). Carson sendiri telah menganalisis seberapa penting efek penerapan blockchain pada sektor-sektor tersebut. Uniknya, sektor yang memiliki dampak tertinggi adalah sektor pertanian.

Blockchain untuk Sistem Rantai Pasok Agrikultura

Sistem manajemen rantai pasok yang dikenal sejak tahun 2000-an merupakan sistem manajemen rantai pasok yang tersentral. Sistem ini memiliki kelemahan. Masalah kepercayaan seperti adanya korupsi dan informasi yang tidak semestinya membuat sistem rantai pasok tidak berjalan sebagaimana direncanakan. Sistem ini tidak bisa menyajikan data secara real time. Data yang dikirimkan akan memakan waktu untuk mengolah dan menyajikannya.

Alternatif baru yang kini digunakan adalah teknologi blockchain. Blockchain adalah ledger besar yang terdesentralisasi dan terdistribusi yang menyimpan catatan transaksi digital sedemikian rupa sehingga membuatnya dapat diakses dan terlihat oleh banyak anggota dalam jaringan yang terjaga keamanannya. Karena blockchain adalah basis data terdesentralisasi, tidak ada yang mengatur atau memilikinya, dan setelah data diunggah ke blockchain, data tersebut tidak dapat diubah sehingga data tidak dapat dirusak atau dipalsukan.

Teknologi Blockchain memberikan peluang untuk secara transformasi meningkatkan operasi rantai pasokan agrikultura. Potensi manfaat berlimpah untuk semua pelaku rantai pasok, mulai dari produsen skala kecil sampai perantara (termasuk pengolah, distributor dan lainnya) hingga konsumen akhir. Dalam bidang agrikultura, blockchain dapat diaplikasikan untuk melakukan tracking dan tracing asal produk agrikultura. Blockchain juga dapat digunakan untuk mengakses berbagai informasi yang selama ini sulit didapatkan karena berbagai alasan.

Salah satu penelitian di India (Kumar & Iyengar, 2017) menghasilkan usulan skenario blockchain pada rantai pasok beras. Skenario yang disusun menunjukkan bagaimana sistem terdesentralisasi berdasarkan teknologi blockchain menjamin keamanan produk dalam manajemen rantai pasok dan membantu dalam meningkatkan efisiensi rantai pasokan beras dengan menyediakan sistem penelusuran yang merekam semua peristiwa yang terjadi dalam pasokan beras rantai dan monitor keamanan dan kualitas beras.

Karena keamanan pangan adalah perhatian utama setiap individu, teknologi blockchain diharapkan digunakan oleh setiap rantai pasok makanan yang menjamin pengiriman produk berkualitas kepada publik.

Penelitian lain di Jepang (Lin, et al., 2017) memanfaatkan penggunaan blockchain yang dipadukan dengan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Model tersebut disusun untuk menciptakan e-agriculture. Sistem e-pertanian ICT dengan teknologi blockchain diusulkan untuk digunakan pada skala lokal dan regional. Penelitian ini memanfaatkan kedua hal tersebut untuk melacak produk agrikultura.

Tidak hanya mengenai darimana asal produk agrikultura tersebut, tetapi juga bisa mengetahui informasi on farm seperti informasi ketersediaan pupuk, jenis pupuk yang digunakan, waktu pemanenan, dan lain-lain. Bahkan bila digunakan untuk wilayah agrikultura yang luas, yang menggunakan sumber air yang sama, teknologi ini akan dapat mendeteksi sumber cemaran air bila terjadi polusi air yang menyebabkan gagal panen.

Implementasi teknologi blockchain di bidang agrikultura masih bersifat awal dan belum diimplementasikan dalam skala besar. Beberapa pendapat menyatakan implementasi ini membutuhkan biaya investasi dan eksplorasi yang lebih besar. Namun sejauh ini, banyak pendapat menyatakan bahwa teknologi blockchain dapat memberikan efek transformasional pada rantai pasokan agrikultura. Penelitian mengenai implementasi teknologi blockchain di bidang agrikultura masih sangat terbuka dan dapat dijadikan topik yang bagus bila dilakukan untuk kasus agrikultura di Indonesia.

Ketertelusuran

0
(ribu km2) Daratan
0
(ribu km2) Perairan
0
(juta) Penduduk
0
(juta) Petani
Sistem Ketertelusuran Berbasis Blockchain

Sistem ketertelusuran industri pangan berbasis blockchain perlu dipadukan dengan kecerdasan buatan (AI) dan Internet of Things (IoT). Secara teoritis sebenarnya sinergi antara AI, IoT,, dan blockchain dapat berupa macam bentuk. Namun, secara praktis, yang biasanya bergabung sebagai satu kesatuan adalah penggunaan kecerdasan buatan (AI), yang terinstal di perangkat Internet of Things (IoT), sebagai ujung cerdas (Intelligent Front End) dari jaringan terhubung dan ter-desentralisasi, blockchain.

Jadi dalam sistem blockchain cerdas seperti ini, pada prinsipnya teknologi blockchain menjadi tulang punggung (back bone) jaringan pada industri agrikultura yang dapat ditelusuri dan transparan. Sementara itu AI, yang terinstall di perangkat I0T, berfungsi sebagai ujung cerdas atau smart device yang memberikan informasi presisi tinggi secara real-time ke dalam sistem yang dikelola oleh blockchain.

Teknologi blockchain memungkinkan pencatatan informasi secara digital secara waktu nyata (realtime) dan tidak bisa diubah pada setiap rantai. Upaya ini menjadi salah satu cara perusahaan agrikultura mempertanggungjawabkan kualitas produk yang mereka jual sekaligus memotivasi petani untuk meningkatkan kualitas hasil panennya.

Di rantai pasok makanan dan pertanian, ketertelusuran merupakan faktor krusial. Komoditas atau produk akan lebih bernilai ketika konsumen bisa melacak perjalanan produk, mulai dari proses budidaya atau penanaman, pemanenan, pengeringan, pengolahan, pengemasan, pengangkutan, hingga penjualan.

Selain memastikan mutu, teknologi ini perlu untuk memberikan jaminan keaslian produk. Faktor ini urgen terutama untuk produk premium yang suplainya terbatas, rentan dipalsukan akibat tingginya permintaan, atau harganya yang relatif mahal. Situasi itu mendorong sejumlah produsen produk pangan dan agrikultura mengadopsi teknologi rantai blok dalam proses bisnisnya.

Dengan teknologi buku besar yang terdistribusi (distributed ledger technology) pada rantai blok, riwayat transaksi dan perpindahan produk tercatat di semua buku pihak-pihak yang terlibat, tidak terpusat di satu pihak dan tidak terputus tahap per tahap prosesnya. Teknologi ini juga memungkinkan semua peserta mendapatkan semua perubahan dan informasi terkini.

Salah satu keunggulan blockchain adalah adanya konsensus tentang entri mana yang benar meski banyak pihak berperan dalam sistem akuntansi digital desentral ini. Teknologi rantai blok menyediakan lingkungan di mana setiap peserta memiliki akses ke setiap data. Namun, setelah dimasukkan dan diverifikasi, data tidak bisa dimodifikasi sehingga keamanannya terjamin.

Dengan segenap keunggulan itu, blockchain layak dijadikan solusi atas problem sejumlah komoditas pangan dan agrikultura Indonesia. Pada produk perikanan ekspor, misalnya, teknologi rantai blok memungkinkan dipakai untuk menjamin kualitas ikan dan memenuhi faktor ketertelusuran. Dengan demikian, kasus penolakan di negara tujuan ekspor akibat kontaminasi virus SARS-CoV-2 pada produk dan kemasan ikan bisa lebih mudah ditelusuri sumbernya.

Kasus pemalsuan rempah, seperti beberapa kali menimpa pala asal Siau, Sulawesi Utara, juga bisa dihindari dengan menyematkan riwayat perjalanan produk dengan teknologi blockchain. Demikian pula dengan komoditas ekspor lain, seperti teh, kopi, lada, cengkeh, dan sarang walet. Kini sudah saatnya bagi Indonesia untuk membawa teknologi ini sampai ke kebun petani guna mendongkrak nilai tambah produk sekaligus menyejahterakan semua pihak dari hulu hingga hilir.