Ayam
Ayam peliharaan sekarang ini berasal dari 4 spesies yakni: Gallus bankiva/gallus ferugenus (ayam hutan merah), Gallus lavayettei (Ayam Ceylon), Gallus sennoratii (grey jungle fowl berasal dari India bagian selatan), dan Gallus Varius (ayam hutanJawa), penyebaranya di Pulau Jawa, Bali, Lombok Sumbawa, dan Sulawesi.
Jenis Ayam Asli di Indonesia
Ayam asli Indonesia/local/ayam peliharaan lebih popularnya dengan sebutan ayam kampung, dan dikatakan sebagai sumber plasma nutfa atau sumber genetic, ayam ini merupakan hasil domestikasi dari ayam hutan merah. Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, maka ayam kampung dapat hidup dan berkembang di seluruh wilayah Indonesia.
Klasifikasi ayam kampung hasil domestikasi berada pada Genus: Gallus, dan Spesies: Gallus-gallus domestica sp. Berbicara tentang ternak ayam kampung memang menarik karena berhubungan dengan keberadaan ayam tersebut di sekitar kita, berdasarkan berbagai hasil penelitian diberbagai daerah ayam kampung memiliki berbagai Nama, pemberian Nama umumnya berdasarkan Nama sebutan yang biasa daerah dimana ayam tersebut hidup, misalnya ayam Kedu yang berasal dari desa Kedu di Provinsi Jawa Tengah. Bagamanakah ciri ayam asli Indonesia dan membedakannya dengan jemis ayam lainya.
Kelapa sawit berbentuk pohon. Tingginya dapat mencapai 24 meter. Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi. Seperti jenis palma lainnya, daunnya tersusun majemuk menyirip. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya agak mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa. Bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada satu pohon (monoecious diclin) dan memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan mekar. Tanaman sawit dengan tipe cangkang pisifera bersifat female steril sehingga sangat jarang menghasilkan tandan buah dan dalam produksi benih unggul digunakan sebagai tetua jantan. Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelapah. Minyak dihasilkan oleh buah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak bebas (FFA, free fatty acid) akan meningkat dan buah akan rontok dengan sendirinya. Buah terdiri dari tiga lapisan; Eksoskarp (bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin), Mesoskarp (serabut buah), dan Endoskarp (cangkang pelindung inti). Inti sawit (kernel, yang sebetulnya adalah biji) merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi. Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit matang pada kondisi tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar (radikula). Habitat aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit tumbuh dengan baik di daerah tropis (15° LU – 15° LS).
Tanaman Kelapa sawit biasa ditemukan di daerah semak belukar dengan berbagai jenis tipe tanah seperti podzolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial atau regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai.
Jenis-jenis tanah tersebut mempengaruhi tingkat produksi kelapa sawit, dimana lokasi perkebunan Kelapa sawit berada. Misalnya, telah diketahui bahwa produktivitas kelapa sawit yang ditumbuhkan di tanah podzolik lebih tinggi dibandingkan ditumbuhkan di tanah berpasir dan gambut.
Tanaman Kelapa sawit kurang optimal jika ditumbuhkan di Pulau Jawa karena jenis tanahnya yang kurang sesuai dengan jenis tanah yang mendukung pertumbuhan kelapa sawit. Temperatur optimal untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 24-28 °C dengan ketinggian 1-500 mdpl dan tingkat kelembaban 80-90%.
Kecepatan angin yang optimal adalah 5–6 km/jam, dimana kecepatan angin akan membantu proses penyerbukan bunga kelapa sawit. Kelapa sawit membutuhkan curah hujan yang sangat tinggi yaitu sekitar 1500–4000 mm per tahun. Tingkat curah hujan mempengaruhi jumlah pelepah yang dihasilkan oleh kelapa sawit.
Pola curah hujan tahunan memengaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit. Kebutuhan penyinaran kelapa sawit berada pada rentang normal yaitu 5-7 jam/hari, sehingga dalam perkebunan kelapa sawit jarak tanam dibuat dengan ukuran 9×9 meter agar setiap tumbuhan mendapatkan cukup cahaya.
Terdapat dua spesies kelapa sawit yang sudah dukenal secara umum, yang dibudidayakan di perkebunan kelapa sawit, yaitu; Elaeis guineensis dan Elaeis oleifera. Kedua spesies tersebut yang paling banyak dibudidayakan dan dapat menghasilkan hibrida yang produktif.
Urutan genomik dari E. guineensis telah berhasil dipetakan, dan sangat bermanfaat untuk digunakan dalam usaha untuk perbaikan serta pemuliaan bibit unggul tanaman kelapa sawit yang lebih bagus.
Spesies Elaeis guineensis Jacq., dikenal secara umum dengan nama Kelapa Sawit (Afrika). Habitat asal dari spesies ini adalah Afrika barat dan barat daya, khususnya antara wilayah Angola dan Gambia.
Spesies Elaeis oleifera (Kunth) Cortés, dikenal secara umum dengan naman Kelapa sawit amerika. Habitat asal dari spesies ini adalah Amerika Selatan dan Tengah, terutama dari Honduras hingga Brasil bagian utara.
Kelapa Sawit di Indonesia
Minyak sawit, minyak nabati hasil proses dari kelapa sawit, mengandung lebih banyak lemak jenuh, dibandingkan dengan minyak nabati lain yang berasal dari kanola, jagung, biji rami, kacang kedelai, safflower, dan bunga matahari. Faktor inilah yang membuat minyak kelapa sawit dapat tahan terhadap panas yang ekstrem dan tahan terhadap oksidasi.
Minyak sawit tidak mengandung lemak trans, dan penggunaannya dalam makanan telah meningkat sebagai hukum pelabelan makanan dan telah mengubah dalam penentuan kandungan lemak trans. Minyak dari Elaeis guineensis juga digunakan sebagai biofuel.
Penggunaan minyak kelapa sawit oleh manusia telah dilakukan sekitar 5.000 tahun yang lalu di pesisir barat Afrika. Minyak kelapa sawit juga ditemukan pada akhir abad ke-19 oleh para arkeolog di sebuah makam di Abydos yang berasal dari 3000 SM. Diperkirakan pedagang Arab membawa kelapa sawit ke Mesir.
Elaeis guineensis sekarang banyak dibudidayakan di negara-negara tropis di luar Afrika, khususnya Malaysia dan Indonesia yang bersama-sama menghasilkan minyak kelapa sawit dan menjadi pemasok besar dunia.
Kelapa sawit yang dibudidayakan terdiri dari dua spesies: E. guineensis dan E. oleifera. Spesies pertama yang terluas dibudidayakan orang. Dari kedua spesies kelapa sawit ini memiliki keunggulan masing-masing. E. guineensis memiliki produksi yang sangat tinggi dan E. oleifera memiliki tinggi tanaman yang rendah.
Banyak pihak; baik lembaga penelitian, pemerintah, maupun perusahaan swasta, yang telah dan sedang berusaha menyilangkan kedua spesies ini untuk mendapatkan spesies yang tinggi produksi dan mudah dipanen. E. oleifera sekarang mulai dibudidayakan pula untuk menambah keanekaragaman sumber daya genetik. Untuk pembibitan massal, sekarang digunakan teknik kultur jaringan.
Penangkar sering kali melihat spesies kelapa sawit berdasarkan ketebalan cangkang, yang terdiri dari; Dura, Pisifera, dan Tenera.
Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya, tandan buahnya berukuran besar dan kandungan minyak per tandannya berkisar 18%.
Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang, sehingga tidak memiliki inti (kernel) yang menghasilkan minyak ekonomis dan bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah.
Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan jantan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul memiliki persentase daging per buahnya mencapai 90% dan kandungan minyak per tandannya dapat mencapai 28%.
Biji kelapa sawit tidak berkecambah secara cepat karena adanya sifat dormansi. Batang kelapa sawit memiliki kecepatan tumbuh sekitar 35–75 cm per tahunnya. Untuk meningkatkan kecepatan produksi, maka dilakukan beberapa inovasi.
Metode pertama yang dilakukan adalah pengecambahan biji kelapa sawit. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan dormansi benih dan meningatkan persentasi daya kecambah.
Metode kedua adalah pemupukan. Pupuk yang dapat ditambahan dapat berupa pupuk organik maupun anorganik. Pupuk organik dimanfaatkan dalam memperbaiki struktur tanah dan memberikan pasokan zat hara bagi tanaman. Pupuk anorganik yang biasa ditambahkan adalah pupuk NPK. Efektivitas pemupukan akan tinggi jika pupuk diberikan dalam dosis yang rendah secara kontinu.
Metode ketiga adalah pengendalian gulma. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara manual, kimiawi dan biologis. Secara manual dapat dilakukan melalui penyiangan piringan kelapa sawit dengan memotong rerumputan.
Pengendalian gulma secara kimiawi dilakukan dengan pemberian herbisida dengan memperhatikan beberapa faktor yaitu mekanisme kerja herbisida, cara pemberian dan sifat gulma. Herbisida memiliki berbagai macam mekanisme kerja seperti mempengaruhi respirasi dan fotosintesis gulma, serta menghambat perkecambahan gulma, menghambat sintesis asam amino dan metabolisme lipid.
Metode keempat adalah pengendalian hama. Hama yang umum menyerang kelapa sawit antara lain ulat api, ulat kantong, tikus, rayap, kumbang bahkan babi hutan. Pengendalian hama dapat dilakukan dengan pemberian insektisida atau menggunakan predator alaminya.
Faktor yang dapat menyebabkan penurunan hasil produksi pada tanaman kelapa sawit diantaranya hama dan penyakit. Serangan hama utama ulat pemakan daun kelapa sawit, yakni ulat api (Lepidoptera: Limacodidae) dan ulat kantung (Lepidoptera: Psychidae). Potensi kehilangan hasil yang disebabkan kedua hama ini dapat mencapai 35%.
Jenis ulat api yang paling banyak ditemukan di lapangan adalah Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima, Darna diducta dan Darna bradleyi.
Selain hama, penyakit juga menimbulkan masalah pada pertanaman kelapa sawit. Penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh infeksi cendawan Ganoderma boninense merupakan penyakit penting yang menyerang kebun-kebun kelapa sawit.
Cendawan G. boninense merupakan patogen tular tanah yang merupakan parasitik fakultatif dengan kisaran inang yang luas dan mempunyai kemampuan saprofitik yang tinggi. Gejala awal penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) terlihat dari luar adanya daun yang menguning pada satu sisi, atau adanya bintik-bintik kuning dari daun muda, yang kemudian diikuti dengan nekrosis.
Pada tanaman menghasilkan (TM), gejala berupa beberapa daun tombak tidak terbuka dan kanopi daun umumnya pucat (menguning). Daun yang terserang kemudian mati dimana nekrosis dimulai pada daun yang paling tua dan merambat meluas ke atas ke arah mahkota daun. Semakin lama, maka tanaman kemudian mati ditandai dengan daun kering terkulai pada ujung pelepah pada batang atau patah tulang di beberapa titik sepanjang anak daun, dan menggantung ke bawah.