Cupang

Cupang, ikan laga, atau ikan adu siam (Betta sp.) adalah ikan air tawar yang habitat asalnya adalah beberapa negara di Asia Tenggara, antara lain Indonesia, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Vietnam, dan Indonesia. Ikan ini mempunyai bentuk dan karakter yang unik dan cenderung agresif dalam mempertahankan wilayahnya. Di kalangan penggemar, ikan cupang umumnya terbagi atas tiga golongan, yaitu cupang hias, cupang aduan, dan cupang liar. Di Indonesia terdapat cupang asli, salah satunya adalah Betta channoides yang ditemukan di Pampang, Kalimantan Timur.

Ikan cupang adalah salah satu ikan yang kuat bertahan hidup dalam waktu lama sehingga apabila ikan tersebut ditempatkan di wadah dengan volume air sedikit dan tanpa adanya alat sirkulasi udara (aerator), ikan ini masih dapat bertahan hidup.

Jenis-Jenis Cupang

Jenis-Jenis Cupang

Jenis-Jenis Cupang

Ada banyak jenis ikan Cupang yang sudah diketahui dan didata. Kelompok ikan Cupang yang pertama disebut berikut, merupakan jenis ikan Cupang yang dikenal sebagai mouth breeder yaitu ikan cupang yang mengerami telurnya di dalam mulut.

Jenis Ikan Cupang ini, antara lain adalah; Betta pugnax (Forest Betta), Betta taeniata (Banned Betta), Betta macrostoma (Bruney Beauty), Betta unimaculata (Golden Slender), Betta picta (painted Betta), Betta anabantoides (Pearly Betta), Betta edithae (Betta Brederi), and Betta foerschi (Purple Saphire Betta).

Ada juga kelompok ikan Cupang yang membangun sarangnya dengan busa (bubble nest). Jenis Ikan Cupang ini, antara lain adalah; Betta akarensis (Sarawak Betta), Betta coccina (Clorat’s Betta), Betta bellica (Standard’s Betta), Betta tesyae (Peaceful Betta), Betta smaragdina (Emerald Betta), Betta imbelis (Slugger’s Betta), and Betta splendens (Siamese Fighting Fish).

Selain dua kelompok tersebut di atas, masih ada kelompok ikan Cupang yang lain, yang jenisnya antara lain adalah; Betta albimarginata, Betta channoides, Betta balunga, Betta breviobesus, and Betta enisae.

Cupang Hias

Ada banyak ikan Cupang hias, yang dibagi lagi menjadi beberapa jenis, yaitu, antara lain; Halfmoon (setengah bulan), Crowntail (ekor mahkota) atau serit, Double tail (ekor ganda), Plakat Halfmoon Giant (cupang raksasa), Koi Galaxy, Blue Rim, dan Hellboy.

Halfmoon (setengah bulan), cupang jenis ini memiliki sirip dan ekor yang lebar dan simetris menyerupai bentuk bulan setengah. Nama lain dari ikan hias ini adalah cupang big ear. Warna yang ada di ikan cupang halfmoon pun beragam, mulai dari biru pekat, merah, ungu sampai yang paling langka, yakni kuning.

Di Indonesia sendiri, cupang halfmoon dikenal pertama kali pada tahun 2000. Saat itu cupang halfmoon didatangkan dari Eropa dan Amerika. Hingga kini perkembangan halfmoon sangat pesat dan banyak diminati. Hal ini karena ekornya lebar dan gerakannya anggun. Peternak Indonesia mulai banyak mengembangkannya karena nilai jualnya lebih baik. Karena ragam keindahannya, harga ikan cupang ini dibanderol sekitar Rp 80.000 hingga jutaan rupiah tergantung dari keadaan fisik ikan.

Crowntail (ekor mahkota) atau serit. Ikan cupang crown tail (cupang hias serit) merupakan ikan asli Indonesia. Cupang jenis crowntail dapat memakan puluhan jentik dan telur nyamuk sampai tidak tersisa. Ciri yang menonjol pada ikan ini memiliki gerakan agresif dan memiliki warna yang indah. Pada ikan jantan, biasanya warnanya lebih cerah, sementara pada betina biasanya bentuk badan lebih oval serta warnanya agak memudar.

Double tail (ekor ganda). Cupang double tail, atau cagak memiliki ciri-ciri unik, yaitu ekornya yang terbelah dua. Kedua ekor cupang ini bisa berbeda warna, menghasilkan gradasi yang lebih indah dan membuat harga jualnya lebih mahal. Harga cupang double tail cukup mahal, baik itu bibit atau indukan.

Ikan cupang double tail juga sangat rentan jamur dan rawan kematian dini, sehingga dalam pemeliharaannya, harus rajin merawat, memberi makan, dan mengganti air akuarium agar ikan terjauh dari stres.


Plakat Halfmoon Giant (cupang raksasa), cupang jenis ini merupakan hasil perkawinan silang antara cupang biasa dengan cupang alam, cupang jenis ini ukurannya bisa mencapai 12 cm. Koi Galaxy, cupang jenis ini berwarna seperti ikan koi dengan warna dasar putih sedikit merah muda dengan tutul tutul berwarna hitam, merah, biru. Blue Rim, cupang ini punya warna dominan putih dan pada ujung ekor dan sirip berwarna biru. Hellboy, keseluruhan tubuhnya berwarna merah tua. Jenis-jenis tanah tersebut mempengaruhi tingkat produksi kelapa sawit, dimana lokasi perkebunan Kelapa sawit berada. Misalnya, telah diketahui bahwa produktivitas kelapa sawit yang ditumbuhkan di tanah podzolik lebih tinggi dibandingkan ditumbuhkan di tanah berpasir dan gambut. Tanaman Kelapa sawit kurang optimal jika ditumbuhkan di Pulau Jawa karena jenis tanahnya yang kurang sesuai dengan jenis tanah yang mendukung pertumbuhan kelapa sawit. Temperatur optimal untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 24-28 °C dengan ketinggian 1-500 mdpl dan tingkat kelembaban 80-90%. Kecepatan angin yang optimal adalah 5–6 km/jam, dimana kecepatan angin akan membantu proses penyerbukan bunga kelapa sawit. Kelapa sawit membutuhkan curah hujan yang sangat tinggi yaitu sekitar 1500–4000 mm per tahun. Tingkat curah hujan mempengaruhi jumlah pelepah yang dihasilkan oleh kelapa sawit. Pola curah hujan tahunan memengaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit. Kebutuhan penyinaran kelapa sawit berada pada rentang normal yaitu 5-7 jam/hari, sehingga dalam perkebunan kelapa sawit jarak tanam dibuat dengan ukuran 9×9 meter agar setiap tumbuhan mendapatkan cukup cahaya.  

Spesies

Terdapat dua spesies kelapa sawit yang sudah dukenal secara umum, yang dibudidayakan di perkebunan kelapa sawit, yaitu; Elaeis guineensis dan Elaeis oleifera. Kedua spesies tersebut yang paling banyak dibudidayakan dan dapat menghasilkan hibrida yang produktif.

Urutan genomik dari E. guineensis telah berhasil dipetakan, dan sangat bermanfaat untuk digunakan dalam usaha untuk perbaikan serta pemuliaan bibit unggul tanaman kelapa sawit yang lebih bagus.

Spesies Elaeis guineensis Jacq., dikenal secara umum dengan nama Kelapa Sawit (Afrika). Habitat asal dari spesies ini adalah Afrika barat dan barat daya, khususnya antara wilayah Angola dan Gambia.

Spesies Elaeis oleifera (Kunth) Cortés, dikenal secara umum dengan naman Kelapa sawit amerika. Habitat asal dari spesies ini adalah Amerika Selatan dan Tengah, terutama dari Honduras hingga Brasil bagian utara.

Kelapa Sawit di Indonesia

0
(Ha.) Luas Perkebunan
0
Perusahaan Perkebunan
0
(Ton/Th.) Produksi CPO
0
(Triliun Rp./Th.) Ekspor
Budidaya

Minyak sawit, minyak nabati hasil proses dari kelapa sawit, mengandung lebih banyak lemak jenuh, dibandingkan dengan minyak nabati lain yang berasal dari kanola, jagung, biji rami, kacang kedelai, safflower, dan bunga matahari. Faktor inilah yang membuat minyak kelapa sawit dapat tahan terhadap panas yang ekstrem dan tahan terhadap oksidasi.

Minyak sawit tidak mengandung lemak trans, dan penggunaannya dalam makanan telah meningkat sebagai hukum pelabelan makanan dan telah mengubah dalam penentuan kandungan lemak trans. Minyak dari Elaeis guineensis juga digunakan sebagai biofuel.

Penggunaan minyak kelapa sawit oleh manusia telah dilakukan sekitar 5.000 tahun yang lalu di pesisir barat Afrika. Minyak kelapa sawit juga ditemukan pada akhir abad ke-19 oleh para arkeolog di sebuah makam di Abydos yang berasal dari 3000 SM. Diperkirakan pedagang Arab membawa kelapa sawit ke Mesir.

Elaeis guineensis sekarang banyak dibudidayakan di negara-negara tropis di luar Afrika, khususnya Malaysia dan Indonesia yang bersama-sama menghasilkan minyak kelapa sawit dan menjadi pemasok besar dunia.

Kelapa sawit yang dibudidayakan terdiri dari dua spesies: E. guineensis dan E. oleifera. Spesies pertama yang terluas dibudidayakan orang. Dari kedua spesies kelapa sawit ini memiliki keunggulan masing-masing. E. guineensis memiliki produksi yang sangat tinggi dan E. oleifera memiliki tinggi tanaman yang rendah.

Banyak pihak; baik lembaga penelitian, pemerintah, maupun perusahaan swasta, yang telah dan sedang berusaha menyilangkan kedua spesies ini untuk mendapatkan spesies yang tinggi produksi dan mudah dipanen. E. oleifera sekarang mulai dibudidayakan pula untuk menambah keanekaragaman sumber daya genetik. Untuk pembibitan massal, sekarang digunakan teknik kultur jaringan.

Penangkar sering kali melihat spesies kelapa sawit berdasarkan ketebalan cangkang, yang terdiri dari; Dura, Pisifera, dan Tenera.

Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya, tandan buahnya berukuran besar dan kandungan minyak per tandannya berkisar 18%.

Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang, sehingga tidak memiliki inti (kernel) yang menghasilkan minyak ekonomis dan bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah.

Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan jantan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul memiliki persentase daging per buahnya mencapai 90% dan kandungan minyak per tandannya dapat mencapai 28%.

Inovasi budidaya

Biji kelapa sawit tidak berkecambah secara cepat karena adanya sifat dormansi. Batang kelapa sawit memiliki kecepatan tumbuh sekitar 35–75 cm per tahunnya. Untuk meningkatkan kecepatan produksi, maka dilakukan beberapa inovasi.

Metode pertama yang dilakukan adalah pengecambahan biji kelapa sawit. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan dormansi benih dan meningatkan persentasi daya kecambah.

Metode kedua adalah pemupukan. Pupuk yang dapat ditambahan dapat berupa pupuk organik maupun anorganik. Pupuk organik dimanfaatkan dalam memperbaiki struktur tanah dan memberikan pasokan zat hara bagi tanaman. Pupuk anorganik yang biasa ditambahkan adalah pupuk NPK. Efektivitas pemupukan akan tinggi jika pupuk diberikan dalam dosis yang rendah secara kontinu.

Metode ketiga adalah pengendalian gulma. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara manual, kimiawi dan biologis. Secara manual dapat dilakukan melalui penyiangan piringan kelapa sawit dengan memotong rerumputan.

Pengendalian gulma secara kimiawi dilakukan dengan pemberian herbisida dengan memperhatikan beberapa faktor yaitu mekanisme kerja herbisida, cara pemberian dan sifat gulma. Herbisida memiliki berbagai macam mekanisme kerja seperti mempengaruhi respirasi dan fotosintesis gulma, serta menghambat perkecambahan gulma, menghambat sintesis asam amino dan metabolisme lipid.

Metode keempat adalah pengendalian hama. Hama yang umum menyerang kelapa sawit antara lain ulat api, ulat kantong, tikus, rayap, kumbang bahkan babi hutan. Pengendalian hama dapat dilakukan dengan pemberian insektisida atau menggunakan predator alaminya.

Hama dan penyakit

Faktor yang dapat menyebabkan penurunan hasil produksi pada tanaman kelapa sawit diantaranya hama dan penyakit. Serangan hama utama ulat pemakan daun kelapa sawit, yakni ulat api (Lepidoptera: Limacodidae) dan ulat kantung (Lepidoptera: Psychidae). Potensi kehilangan hasil yang disebabkan kedua hama ini dapat mencapai 35%.

Jenis ulat api yang paling banyak ditemukan di lapangan adalah Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima, Darna diducta dan Darna bradleyi.

Selain hama, penyakit juga menimbulkan masalah pada pertanaman kelapa sawit. Penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh infeksi cendawan Ganoderma boninense merupakan penyakit penting yang menyerang kebun-kebun kelapa sawit.

Cendawan G. boninense merupakan patogen tular tanah yang merupakan parasitik fakultatif dengan kisaran inang yang luas dan mempunyai kemampuan saprofitik yang tinggi. Gejala awal penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) terlihat dari luar adanya daun yang menguning pada satu sisi, atau adanya bintik-bintik kuning dari daun muda, yang kemudian diikuti dengan nekrosis.

Pada tanaman menghasilkan (TM), gejala berupa beberapa daun tombak tidak terbuka dan kanopi daun umumnya pucat (menguning). Daun yang terserang kemudian mati dimana nekrosis dimulai pada daun yang paling tua dan merambat meluas ke atas ke arah mahkota daun. Semakin lama, maka tanaman kemudian mati ditandai dengan daun kering terkulai pada ujung pelepah pada batang atau patah tulang di beberapa titik sepanjang anak daun, dan menggantung ke bawah.